Ensiklopedia Buku Islam

Beranda » Buku: Hadits » Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari [Kitab Iman: Bab 29]

Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari [Kitab Iman: Bab 29]



BAB 29

ِAgama Itu Mudah

باب الدِّينُ يُسْرٌ

 

وَقَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -‏:‏ ‏”‏ أَحَبُّ الدِّينِ إِلَى اللَّهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ‏.‏‏”‏

Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Perkara agama yang paling disukai Allah adalah al-Hanafiyah (millah Ibrahim) as-samhah (yang mudah).”

حَدَّثَنَا عَبْدُ السَّلَامِ بْنُ مُطَهَّرٍ قَالَ‏:‏ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ مَعْنِ بْنِ مُحَمَّدٍ الْغِفَارِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ‏:‏ ‏”‏ إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنْ الدُّلْجَةِ‏.‏‏”

Abdus Salam bin Muthahhar meriwayatkan kepada kami, ia berkata: ‘Umar bin ‘Ali meriwayatkan kepada kami dari Ma’an bin Muhammad al-Ghifari, dari Sa’id bin Abi Sa’id al-Maqburi, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya agama ini mudah. Tidak ada seorang pun yang memaksakan diri dalam agama melainkan akan menemui kesulitan. Oleh karena itu teguhlah dalam beramal, dekatilah tingkat kesempurnaan, sambutlah kabar gembira serta manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya waktu pagi, setelah tergelincir matahari, dan sedikit dari akhir malam.”

[Hadits nomor 39 ini tercantum juga pada hadits nomor: 5673, 6463, dan 7235]


SYARAH HADITS

Perkataan: [باب الدِّينُ يُسْرٌ] “Agama itu mudah.” Maksudnya, agama Islam itu memiliki banyak kemudahan. Atau Islam ini adalah agama yang mudah dibandingkan dengan agama-agama sebelumnya. Sebab, Allah telah mengangkat dari umat ini beban yang dahulu dipikulkan kepada umat-umat sebelumnya. Sebagai contoh, taubat umat terdahulu adalah dengan mengorbankan jiwa; sedangkan taubat umat ini cukup denga menghentikan perbuatan, bertekad untuk tidak mengulanginya dan menyesali perbuatan tersebut.

Perkataan: [أَحَبُّ الدِّينِ] “Perkara agama yang paling disukai.” Yakni sifat dalam agama. Semua sifat agama ini disukai, tetapi perkara yang mudah lebih disukai Allah. Dalilnya, hadits riwayat Ahmad dengan sanad shahih, dari hadits seorang Arab yang tidak disebutkan namanya, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‏”‏ خير دينكم أيسره‏”‏‏.‏

“Urusan agama kalian yang paling baik adalah yang paling mudah”

Atau maksudnya adalah jenis agama, yakni agama yang paling dicintai Allah adalah al-Hanafiyah. Dan yang dimaksud di sini adalah syari’at-syari’at yang telah lalu, sebelum diganti dan dihapus (oleh syari’at Islam).

Al-Hanafiyah adalah millah (agama) Ibrahim. Al-Haniif menurut bahasa artinya orang yang berada di atas ajaran Ibrahim. Ibrahim disebut Hanif karena kecondongannya kepada kebenaran dan jauhnya ia dari kebatilan. Asal kata al-Hanf artinya kecondongan.

As-Samhah artinya mudah, yakni agama yang dibangun di atas dasar kemudahan. Berdasarkan firman Allah ta’ala:

‏‏وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ مِّلَّةَ أَبِيْكُمْ إِبْرَاهِيْمَ‏

“… dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama. (Ikutilah) agama nenek moyangmu Ibrahim…”(QS. Al-Hajj: 78)

Hadits Mu’allaq di atas tidak diriwayatkan secara maushul oleh Imam al-Bukhari dalam kitab ini, karena tidak sesuai dengan kriteria beliau.

Namun Imam al-Bukhari meriwayatkannya secara maushul dalam kitab al-Adabul Mufrad, demikian pula diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal secara maushul dan lainnya dari jalur Muhammad bin Ishaq, dari Dawud bin al-Hushain, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dengan sanad hasan.

Imam al-Bukhari mencantumkannya hanya sebagai judul baba, karena hadits tersebut belum memenuhi kriteria kitab Shahiih-nya ini. Beliau memilih hadits itu maknanya sesuai dengan judul bab, yakni tentang kemudahan dalam agama.

 

Perkataan: [حَدَّثَنَا عَبْدُ السَّلَامِ بْنُ مُطَهَّرٍ]”Abdus Salam bin Muthahhar meriwayatkan kepada kami.” Yakni Ibnu Husam al-Bashri, kun-yah-nya adalah Abu Zhafar.

 

Perkataan:[حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ عَلِيٍّ]”Umar bin ‘Ali meriwayatkan kepada kami.” Dia adalah al-Muqaddami al-Bashri, salah seorang perawi tsiqah, tetapi sering melakukan tadlis dalam kategori berat. Demikianlah yang dikatakan oleh Ibnu Sa’ad dan ulama lainnya.

Hadits ini termasuk riwayat al-Bukhari yang tidak diriwayatkan oleh Muslim dan telah dinyatakan shahih olehnya; meskipun hadits ini berasa dari riwayat seorang mudallis. Hal ini disebabkan adanya, penegasan tentang penyimakan riwayat langsung dari jalur lain.

Ibnu Hibban dalam Shahiih-nya dari jalur Ahmad bin al-Miqdam, salah seorang guru Imam al-Bukhari, dari ‘Umar bin ‘Ali, ia berkata: “Aku mendengar Ma’an bin Muhammad,” lalu ia menyebutkan haditsnya.

Hadits ini hanya diriwayatkan dari jalur Ma’an bin Muhammad, ia adalah seorang perawi tsiqah yang berasal dari Madinah dan hanya memiliki sedikit riwayat. Akan tetapi, bagian kedua dari matan hadits di atas telah diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Dzi’b dari Sa’id.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Kitab “ar-Riqaaq” dengan lafazh: ((سَدِّدُوْا وَقَرِّبُوْا)) “Teguhlah dalam beramal, dekatilah tingkat kesempurnaan,” dan pada bagian akhirnya terdapat tambahan: ((وَالقَصْدَ القَصْدَ تَبْلُغُوْا)) “Jagalah kesederhanaan, jagalah kesederhanaan niscaya kalian akan sampai tujuan.” Namun, bagian pertama redaksi haditsnya tidak disebutkan. Kami telah menyebutkan beberapa riwayat pendukungnya. Di antaranya hadits Urwah al-Fuqaimi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

إِنَّ دِيْنَ اللهِ يُسْرٌ

“Sesungguhnya agama Allah ini mudah”

Demikian pula hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

عليكم هديا قاصدا، فإنه من يشاد هذا الدين يغلبه ‏”‏ رواهما أحمد وإسناد كل منهما حسن

“Hendaklah kalian tetap memegang teguh petunjuk yang lurus, sebab barangsiapa yang memaksakan diri dalam (urusan) agama ini, niscaya ia akan menemui kesulitan.”

Kedua hadits yang baru disebutkan di atas ini diriwayatkan oleh Ahmad dengan sanad hasan.

 

Perkataan: [وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ إِلَّا غَلَبَهُ]”Tidak ada seorang pun yang memaksakan diri dalam agama melainkan ia akan menemui kesulitan.” Demikianlah yang tercantum dalam riwayat kami, tanpa disebutkan fa’il (predikat)-nya.

Dalam riwayat Ibnu Sakan, dan sebagian riwayat dari al-Ashili, diriwayatkan dengan lafazh: ((وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ)). Demikian pula dalam riwayat-riwayat lainnya dalam Mustakhraj karya al-Isma’ili dan Abu Nu’aim, serta dalam Shahiih Ibni Hibban dan kitab lainnya.

Kata: الدِّينَ dibaca manshub sebagai maf’ul (objek); demikian pula yang tercantum dalam riwayat kami. Fa’il-nya (predikatnya) tidak disebutkan karena sudah dimaklumi.

Penulis kitab al-Mathaali’ berkata: “Kebanyakan riwayat-riwayat yang ada meriwayatkan kata الدِّينَ dengan marfu’ dan kata يُشَادَّ dalam bentuk fi’il majhul (kata kerja yang tidak disebutkan fa’il-nya).”

Namun pendapat itu ditentang oleh an-Nawawi, menurutnya, mayoritas riwayat yang ada meriwayatkan dengan ‘alamat (tanda) manshub. Dalam hal ini, ulasan kedua ulama tersebut dapat dibawakan kepada perbedaan yang ada antara riwayat ulama Maghrib dan ulama Masyriq.

Riwayat manshub didukung oleh hadits Buraidah yang diriwayatkan oleh Ahmad, dengan lafazh:

ُإِنَّهُ مَن شَادَّ هَذَا الدِّيْنَ يَغْلِبَه

“ٍSesungguhnya siapa saja yang mempersulit agama ini pasti akan membuatnya sulit.”

Penyebutan redaksi ini di dalam hadits lain layak dijadikan sebagai alasan bagi hadits di atas.

Kata: المُشَادَّةُ -dengan tasydid– artinya menaklukan. Dalam wazan (pola) kalimat disebutkan شَادَّهُ – يُشَادُّهُ – مُشَادَّةً artinya menguatkan. Maksudnya: “Tidaklah seseorang mempersulit diri dalam melaksanakan tugas-tugas keagamaan dan menjauhi kemudahannya, melainkan ia tidak akan mampu melakukannya dan akan terputus darinya, sehingga ia akan dikalahkannya.”

Ibnu Munayyir berkata: “Hadits ini termasuk salah satu mukjizat Nabi. Kita semua sama-sama menyaksikan bahwa setiap orang yang melampaui batas dalam agama, niscaya dia akan terputus dari amalnya. Hal ini tidak berarti dilarang mengejar ibadah yang lebih sempurna, sebab hal itu termasuk perkara yang terpuji. Akan tetapi, yang dilarang di sini adalah sikap memusatkan diri hanya di dalam satu macam ibadah sehingga mengakibatkan kejemuan, atau berlebih-lebihan dalam mengerjakan amalan sunnah yang pada gilirannya akan mengakibatkan terbengkalainya perkara yang lebih utama. Atau bahkan sampai mengulur-ulur kewajiban hinga keluar waktu. Seperti orang yang shalat Tahajjud semalam suntuk, atau bahkan sampai terbit matahari sehingga keluar dari batas akhir waktunya.”

Di dalam hadits Mihzan bin al-Adra’ yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, disebutkan:

إنكم لن تنالوا هذا الأمر بالمغالبة، وخير دينكم اليسرة

“Kalian tidak akan dapat melaksanakan agama ini dengan memaksakan diri. Sebaik-baik urusan agamamu adalah yang mudah.”

Dari sinyalemen ini dapat dipetik kaidah wajibnya mengambil rukhshah (disepensasi) dalam hukum syari’at. Melaksanakan ‘azimah (ketentuan asal) pada saat diberikannya dispensasi merupakan bentuk pemaksaan diri. Misalnya adalah orang yang enggan meninggalkan tayamum tatkala tidak mampu menggunakan air; sehingga karena memaksakan diri menggunakan air, itulah ia mendapatkan mudharat.

 

Perkataan: [فَسَدِّدُوا ]”Teguhlah dalam beramal.” Maksudnya, pegang teguhlah kebenaran tanpa berlebih-lebihan dan tanpa bersikap meremehkan. Ahli bahasa berkata: “Makna السَّدَادُ adalah bersikap moderat dalam beramal.”

 

Perkataan: [وَقَارِبُوا]” Dekatilah tingkat kesempurnaan.” Maknanya jika kamu tidak mampu melakukan yang sempurna, maka lakukanlah hingga mendekati titik kesempurnaan.

 

Perkataan: [وَأَبْشِرُوا]”Sambutlah kabar gembira.” Yakni berupa pahala atas amal yang dilakukan secara berkesinambungan, meskipun sedikit. Maksudnya, kabar gembira bagi orang yang tidak mampu mengerjakan amal secara sempurna; bahwasanya selama ketidak-mampuan itu tidak dibuat-buat maka tidak mengurangi pahalanya. Kabar gembira yang berupa pahala itu tidak disebutkan, karena untuk menunjukkan keagungan dan kebesarannya.

 

Perkataan: [وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ]”Serta manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya waktu pagi.” Maksudnya, manfaatkanlah waktu tersebut untuk beribadah, karena waktu itu adalah waktu ketika orang-orang masih bersemangat.

Kata الْغَدْوَةُ menurut bahasa artinya berjalan pada pagi hari. Al-Jauhari berkata: “Kata الْغَدْوَةُ artinya waktu di antara shalat Shubuh hingga terbit matahari.”

Kata الرَّوْحَةُ artinya melakukan perjalanan (bepergian) setelah matahari tergelincir. Dan kata الدُّلْجَةُ artinya melakukan perjalanan di akhir malam.

Ada yang mengatakan kata الدُّلْجَةُ artinya melakukan perjalan di sepanjang malam. Oleh karena itu, dalam hadit di atas dikatakan: “Sedikit waktu pada akhir malam,” sebab beribadah pada malam hari lebih sulit daripada melakukannya di siang hari.

Waktu-waktu tersebut adalah waktu yang paling nyaman bagi para musafir untuk melakukan perjalanan. Seolah-olah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara kepada para musafir mengenai tujuan perjalan mereka, lalu beliau menjelaskan waktu-waktu yang terbaik untuk melakukan perjalanan. Sebab, apabila seorang musafir berjalan pada siang juga malam hari, tentu ia akan merasa kelelahan, dan perjalanannya akan terhenti. Namun, apabila ia memilih waktu-waktu tersebut, niscaya ia akan dapat meneruskan perjalanannya tanpa merasa berat.

Kiasan maknanya, bahwa dunia pada hakikatnya ibarat negeri persinggahan dalam perjalanan menuju akhirat. dan waktu-waktu tersebut secara khusus merupakan waktu yang paling nyaman untuk beribadah.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat Ibnu Abi Dzi’b: ((القَصْدَ القَصْدَ)) “Jagalah kesederhanaan, jagalah kesederhanaan, niscaya kalian akan sampai ke tujuan” dibaca manshub  pada kedua huruf dal. Ungkapan ini merupakan anjuran, yaitu anjuran agar kita mengambil perkara yang pertengahan (tidak terlalu berat dan tidak terlalu ringan-pent).

Alasan al-Bukhari mencantumkan hadits ini setelah hadits-hadits yang dicantumkan sebelumnya sangat jelas. Sebab hadits ini berisi anjuran untuk mengerjakan shalat Tahajjud, puasa, dan jihad, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menjelaskan bahwa yang paling utama adalah tidak memaksakan diri, karena akibatnya akan lemah, sehingga tidak mampu melanjutkan amal ibadah itu. Maka, hendaknya seseorang beramal semampunya dan mengikuti tahapan yang ada, supaya amalnya berkesinambungan dan tidak terputus di tengah jalan.

Pada bab berikutnya al-Bukhari kembali menyebutkan hadits-hadits yang menunjukkan amal-amal shalih termasuk cabang keimanan, ia berkata: “Bab: ‘Shalat Termasuk Cabang Keimanan”

 

***

 [chapter: 1, page: 479-486]


Dinukil dari buku:
Judul: Fathul Bari Syarah Shahih al-Bukhari 
Penulis: Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani
Penerbit: Pustaka Imam Syafi'i
Artikel: Ensiklopedia Buku Islam


2 Komentar

  1. Abu Salamah berkata:

    Akhi mau tanya apa bedanya buku fathul bari terbitan pustaka imam syafi’I sama pustaka azzam?
    Syukron jazaakallah khair

    Suka

    • Yudha Abdul Ghani berkata:

      sepanjang pengetahuan kami -wallaahu a’lam- dari kedua penerbit tersebut terdapat kekurangan dan kelebihan tersendiri sebagai contoh:
      Pustaka Azzam menampilkan design eksteriornya yg menarik (yakni kover bukunya) sehingga tampak indah ketika di display
      Pustaka Imam Syafii design biasa saja jadi biasa juga untuk display

      Pustaka Azzam design interiornya biasa saja jadi biasa juga utk dibacanya
      Pustaka Imam syafii design interiornya bagus yaitu setiap text arabnya diberi warna merah sebagai pembeda antara text Imam Bukhari dan syarah yg fungsinya jadi memudahkan para pembaca dalam membedakan perkataan imam bukhari dan imam ibnu hajar.

      Pustaka Azzam sudah finishing 26 jilid jadi bisa beli sepaket (satu set)
      Pustaka Imam Syafii sampai saat ini -setahu kami- belum finishing baru sampai 18 jilid

      Suka

Tinggalkan Pesan Pembaca: